Rabu, 13 April 2011

RUU Intelijen Negara dan Ancaman Kebebasan Sipil


RUU Intelijen Negara dan Ancaman Kebebasan Sipil

Oleh Tommy Apriando

Sejak keruntuhan penguasa rezim Orde Baru yang pernah mereka dukung secara all out (penuh), Intelijen Indonesia menjadi seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Intelijen kehilangan pegangan sehingga terlihat seakan tidak bisa berdiri kokoh. Hal ini bisa dimengerti karena rezim Orde Baru merupakan klien utama dari intelijen. Pada saat itu terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara intelijen dengan pemerintah Orde Baru, yaitu suatu komitmen untuk saling mengamankan posisi masing-masing. Semua pasti masih ingat kerusuhan tahun 1998 lalu, pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan terhadap warga keturunan merupakan peristiwa mengerikan sepanjang sejarah bangsa.Fakta-fakta ini mendorong masyarakat menolehkan perhatiannya kepada kinerja intelijen kita.

Teror “bom buku” satu bulan terakhir terus terjadi. Namun intelijen tidak juga dengan cepat dan tanggap menemukan dalang dan pelaku teror bom tersebut. Hal ini membuat masyarakat masih akan terus mendapatkan ancaman teror di Indonesia. Itu artinya kinerja dunia intelijen masih dipertanyakan. Selain sorotan dalam aspek hasil, kinerja intelijen juga mendapatkan sorotan terutama dalam empat hal. Pertama, dalam kaitan dengan struktur organisasi dan kordinasi dari lembaga ini. Kedua, berkaitan dengan profesionalisme dalam melakukan deteksi dini. Ketiga, berkaitan dengan jaminan kinerja lembaga ini terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Keempat, berkaitan aspek pengawasan terhadap lembaga ini. Selain keempat faktor itu lembaga intelijen juga masih diragukan apakah telah benar-benar bebas dari karakteristik intelijen pemerintah otoriter yang sarat dengan interest politik, bukan sebagai mata dan telinga pengambil kebijakan untuk melindungi rakyat. Hal ini di karenakan fungsi intelejen saat ini hanya sebagai alat politik penguasa bukan sebagai klien warga negara.

Kewenangan tambahan bagi Intelijen

Selasa, 22 Maret 2011. Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi I DPR RI dengan Badan Intelijen Negara, parlemen bersama pemerintah berencana mengesahkan draft RUU Intelijen Negara menjadi Undang-Undang Intelijen pada 2011. Munculnya RUU  tentang Intelijen Negara sebagai langkah antisipasi pemerintah menghadapi masalah keamanan negara, termasuk terorisme.  Namun demikian, pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Intelijen itu sudah semestinya menjadi bagian yang tidak terpisah dari reformasi intelijen. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip dasar penting dalam kehidupan kenegaraan yang demokratik sudah sepatutnya menjadi bagian yang berkesesuaian di dalam Undang-Undang Intelijen.

Namun dalam draft RUU Intelijen Negara yang sedang dibahas parlemen belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip-prinsip negara demokratik dan justru menimbulkan persoalan serius terhadap tata nilai kehidupan negara demokratik itu sendiri,   Hal ini sudah tentu karena yang akan menjadi objek adalah masyarakat sipil. Apabila penerapannya salah maka akan mengembalikan suasana bangsa yang sedang membangun demokratisasi kembali ke rezim Orde baru. Dalam RUU Intelijen Negara terdapat beberapa hal yang sangat mendasarkan menyangkut hak-hak dasar warga  negara, yang sangat mungkin akan terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. Karena, di dalam RUU Intelijen Negara, pemerintah dan parlemen mengajukan usulan untuk memberikan kewenangan kepada aparat intelijen mempunyai kewenangan melakukan penyadapan serta penangkapan selama 7 x 24 jam. Ketentuan ini tidak relevan dengan tugas intelijen. Lembaga intelijen bukanlah bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan penangkapan. Karena hal ini dapat mengancam kebebasan sipil, merusak prinsip negara hukum dan demokrasi dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia serta rentan akan penyelahgunaan 
 wewenang.

Mengedepankan Prisip HAM dalam RUU Intelijen Negara

Sebuah negara demokratik idealnya memiliki beberapa lembaga intelijen yang diberi kewenangan dan ruang gerak yang berbeda untuk mencegah muncul lembaga intelijen dengan kewenangan terlalu luas.  Selain itu sepak terjang aparat inteljen selaian harus mampu memberikan analisis terhadapa intensitas ancaman kemanan dan kriminal, harus juga selalu mempertimbangkan parameter-parameter HAM sebagi nilai universal. Jika tidak, maka kinerja intelijen selain akan mengundang kecaman internasional, aparat intelijen nantinnya akan menjadi bulan-bulanan gerakan Hak Asasi Manusia internasional. Pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen masih menimbulkan multitafsir dan bersifat karet. Pengaturan yang karet dan multitafsir ini mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.  Hal penting lainnya yang harus di pertimbangka dalam RUU Intelijen Negara yaitu pemberian kewenangan menangkap kepada intelijen. Kewenangan ini dapat mengancam hak asasi manusia dan merusak mekanisme criminal justice system. Pemberian kewenangan itu sama saja dengan melegalisasi penculikan dalam undang-undang intelijen mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia. Penting untuk diingat bahwa badan intelijen negara adalah bagian dari lembaga intelijen non-judicial yang tidak termasuk menjadi bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan menangkap itu. Dalam negara hukum, kewenangan menangkap maupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum.
           
Untuk itu operasi inteljen harus didasarkan kepada standar-standar Internasional agar operasi intelijen terhindar dari tudingan pelanggaran HAM. Council of Europe mengadopsi sedikitnya enam prinsip yang harus dipenuhi pemerintah ketika wewenang khusus lembaga intelijen diterapkan, khususnya dalam konteks upaya kontra terorisme. Pertama, segala upaya kontra terorisme negara harus menghormati HAM dan suprermasi hukum serta menghindari segala bentuk tindakan diskriminatif atau rasis. Kedua, segala tindakan kontra terorisme harus didasarkan pada hukum dan suatu tindakan yang membatasi pemenuhan HAM harus didefinisikan sejelas mungkin dan proporsional dengan tujuan yang akan dicapai. Ketiga, penggunaan metode penyiksaan atau perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan tidak boleh dilakukan dalam situasi apa pun, khususnya ketika penangkapan, interogasi, maupun penahanan seorang tersangka atau tertuduh teroris. Keempat, tindakan pengumpulan informasi dalam konteks upaya kontra terorisme hanya dapat melanggar ruang pribadi individual hanya bila tindakan itu sudah diatur oleh hukum dalam negeri, proporsional dengan maksud yang dituju dari tindakan tersebut, dan dapat diawasi oleh lembaga eksternal independen. Kelima, segala tindakan kontra terorisme harus direncanakan dan dikendalikan oleh pihak yang berwenang untuk menghindari penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Penggunaan senjata oleh pihak yang berwenang harus dilakukan dengan batasan yang ketat dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Keenam, dalam kondisi apa pun negara tidak diperkenankan melakukan pelanggaran terhadap hak untuk hidup, larangan melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, prinsip legalitas pernyataan dan tindakan, dan larangan pemberlakukan efek retrospektif hukum pidana.


Tulisan ini di muat di koran Jurnal Nasional, Rabu, 13 April 2011