Rabu, 17 Agustus 2011

Info buat para penikmat Teather dan Wayang

Info buat para penikmat Teather dan Wayang. Ayo saksikan bersama acara ini.



Gratis Pertunjukan musik teater dan tari 'Histoire Du Soldat'   
19 Agustus 2011 pukul 20.00 (1st show)   
20 Agustus 2011 pukul 20.00 ( 2nd show)
  dengan pertunjukan wayang 'Si Bulbul' oleh Slamet Gundono
di Erasmus Huis Jakarta

Kamis, 04 Agustus 2011

Reformasi Kejaksaan dan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu


Reformasi Kejaksaan dan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Oleh Tommy Apriando*

Sudah 13 tahun reformasi berlalu dan akan terus bergulir. Salah satu tuntutan orde reformasi adalah pembaruan reformasi hukum, salah satunya institusi Kejaksaan. Namun, setelah 13 tahun berlalu, apakah Kejaksaan telah mereformasi diri?

Hari-hari ini publik kita begitu rendah tingkat kepercayaannya (public distrust) pada institusi hukum, tak terkecuali kejaksaan karena tak mampu menjalankan imperatif hukum secara serius dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral keadilan. Tengoklah belakangan ini hukum tak memihak pada keadilan. Bahkan lebih banyak menyisakan duka dan kekecewaan publik tatkala melihat proses jalannya prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan kasus kejahatan terutama korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan uang dilepas begitu saja (SP-3). Tapi terhadap kasus kejahatan yang menimpa rakyat jelata dan miskin relasi uang dan kekuasaan justru diburu untuk dilibat dengan baju hukum. Sedangkan beberapa kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum tuntas dan mandeg di Kejaksaan Agung adalah kasus Trisakti dan Semanggi I dan II, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, dan kasus kerusuhan Mei 1998. Serta, kasus Talangsari dan kasus Wamena, Papua.

Bagaimanapun kinerja institusi kejaksaan belakangan ini benar-benar sedang diperhadapkan dengan persoalan profesionalitas. Banyak sudah fakta yang bisa dijadikan bukti konkret bahwa kinerja kejaksaan memang sedang mengalami kemunduran. Berangkat dari persoalan itulah, kemudian publik mencoba turut berpartisipasi dalam menata dan membangun kembali lembaga kejaksaan yang berwibawa dan bermartabat. Tergerusnya simpati dan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, khususnya korps Adhyaksa, selama ini tidak dapat dimungkiri sebagai buah dari kegagalan Jaksa Agung dalam mereformasi kultur dan watak para jaksa yang masih berkutat pada pola lama. Sistem penanganan perkara yang selama ini masih lebih menonjolkan semangat korps yang berlebihan telah berhasil menggiring wajah hukum negeri ini menjadi amburadul dan karut-marut.

Teramat sulit juga untuk dibantah bahwa proses hukum yang sering tidak independen, tebang pilih, dan mengabaikan rambu-rambu kepatutan tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pimpinan kejaksaan dalam menanamkan prinsip independensi dan profesionalitas terhadap para personelnya. Sebagai dampak turunannya, bermunculanlah berbagai persoalan hukum yang tidak jarang membuat miris nurani publik. Tradisi ini pun kemudian mengakar dan membudaya. Kendati publik melontarkan berbagai kritik tajam, karena karakter yang sudah mendarah daging,  kepekaan terhadap tuntutan publik pun menjadi hilang. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Inilah tradisi yang kerap dipertontonkan oleh lembaga penegak hukum bangsa ini.


Upaya Reformasi Kejaksaan
Dalam melakukan reformasi Institusi Kejaksaan tidaklah mudah, perlu komitmen yang tinggi. Jaksa Agung harus melakukan reformasi menyeluruh dan total pada tubuh  institusi Kejaksaan Agung. Reformasi ini dapat dimulai dengan  melakukan audit kinerja, performa dan kekayaan seluruh staf pada  institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung juga harus membuat struktur kejaksaan yang berbasis kinerja, membuat penjejangan karir dengan model open system dan membangun proses rekruitmen jaksa yang transparan dan akuntabel. Jaksa Agung harus berani mengambil tindakan yang tegas dan keras terhadap seluruh staf institusi Kejaksaan yang melakukan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, tidak akuntabel, dan tidak memiliki kapasitas yang baik untuk menjadi staf Kejaksaan.

Program Reformasi Kejaksaan sudah dicanangkan Kejaksaan sejak 2005 silam. Dua tahun setelah program itu dicanangkan, terbit enam Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang merngatur tentang rekrutmen calon jaksa dan calon pegawai, pembinaan karir, standar minimum profesi jaksa, kode perilaku jaksa, penyelenggaraan diklat dan penyelenggaraan pengawasan. Namun implementasi program reformasi birokrasi tak berjalan sebagaimana mestinya. Terungkapnya kasus jaksa Cirus Sinaga dan kasus-kasus lain penyimpangan kewenangan lainnya menunjukkan reformasi birokrasi belum sepenuhnya berhasil.

Berbagai upaya harus dilakukan oleh Jaksa Agung untuk segera menangani kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara serius dan bertanggungjawab tanpa penundaan, terlebih melakukan penghentian ataupun deponering terhadap kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang berat. Sebab tanpa perubahan kinerja yang terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, reformasi institusi dapat jatuh sebagai politik pencitraan semata, dan Kejaksaan Agung justru kembali berpotensi melanggar keadilan korban karena pengabaian penanganan perkara justru menjadi satu bentuk penundaan keadilan bagi korban.

Hal penting lain yeng menjadi pekerjaan rumah adalah, kejaksaan tidak boleh melupakan berbagai kasus lain yang butuh penyelesaian cepat dan sistematis. Tiga prioritas yang juga mesti menjadi fokus kerja kejaksaan adalah: pembalakan liar, narkoba, dan pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam ketiga wilayah kerja tersebut setidaknya kejaksaan dapat memastikan segera kasus-kasus besar yang terjaring. Khusus terkait kasus pelanggaran HAM berat, harus dipastikan terlebih dulu apakah kasus-kasus tersebut bisa diproses penyidikan dan penuntutannya ataukah tidak. Yang juga penting adalah penuntutan yang maksimal terhadap kasus-kasus besar tersebut dan diupayakan seoptimal mungkin bisa berhasil. Karena, lepasnya kasus-kasus besar di kejaksaan adalah juga karena lemah dan minimalnya penuntutan yang dilakukan kejaksaan. Terakhir, membentuk tim ad hoc di semua level dan kasus-kasus besar tersebut.

Dengan melihat kerja kejaksaan yang berat dan cakupannya yang luas, kualifikasi untuk jaksa agung pun patut menjadi pertimbangan. Seorang jaksa agung di masa genting seperti sekarang mensyaratkan figur yang memiliki kemampuan leadership, bersih, punya visi dan integritas yang tinggi, tegas dan berani bahkan seandainya harus menjadi martir dalam menjalankan tugasnya, bukan bagian dari masa lalu, memiliki keterampilan teknis hukum yang bagus dan memadai (setidaknya memiliki pengalaman) serta punya track record (rekam jejak) dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia. Satu hal yang tak kurang urgensinya: Keberanian mengundurkan diri tanpa diminta jika terbukti gagal. Namun dalam pelaksaaan itu semua, kita kembalikan kepada institusi yang seharusnya agung tersebut.