Senin 22
Juli 2013 kemarin sekitar 150 orang
perwakilan warga Batang yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang
Untuk Konservasi dan didukung oleh
aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Semarang dan
Greenpeace melakukan aksi protes di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta
untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Batang. Dalam kesempatan ini warga menyerahkan
surat penolakan mereka terhadap
pembangunan PLTU Batubara Batang kepada Duta Besar Jepang untuk Indonesia.
Aksi para perempuan di Batang. Laham mereka bertani terancam hilang karena pembangunan PLTU terbesar di Asia. byTommy Apriando |
Berdasarkan
rilis yang dikirim oleh LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia, aksi protes
yang dilakukan warga Batang di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta ini
merupakan respon atas pertemuan Wakil
Menteri Senior Kabinet Jepang Yasutosho Nishimura dengan Menteri Koordinator
Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa terkait kelanjutan rencana pembangunan PLTU
Batubara Batang, dalam pertemuan tersebut Yasutosho Nishimura mendesak Hatta
Rajasa untuk segera menyelesaikan masalah pembebasan tanah warga agar pembangunan PLTU Batang bisa segera direalisasikan.
Pemerintah
menunjuk PT. Bhimasena Power Indonesia-- konsorsium yang terdiri dari tiga
perusahaan : satu perusahaan nasional, Adaro
Power, dan dua perusahaan Jepang yaitu, J-Power,
dan Itochu—sebagai pihak yang akan membangun PLTU Batubara berkapasitas 2000
megawatt di pesisir Ujunggnegoro-Roban,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. PLTU Batubara ini diklaim akan menjadi PLTU
yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Kasmir
warga Karanggeneng mengatakan, kami akan terus menolak keras rencana
pembangunan PLTU Batubara Batang di desa kami. Kami juga mendesak pemerintah
Jepang untuk membatalkan investasi di PLTU Batang. “Karena investasi mereka telah merampas tanah kami, menghancurkan mata
pencaharian kami, dan akan menyebabkan masa depan anak-cucu kami suram tanpa
harapan,” kata Kasmir.
Adapaun
lima desa di Batang akan terkena imbas dari proyek ini, antara lain; Desa
Karanggeneng, Roban, Ujungnegoro, Wonokerso, dan Ponowareng. Proyek raksasa ini
akan melahap lahan seluas 200 hingga 500 hektar, memangsa lahan pertanian
produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan puluhan ribu pohon
melati hasil budidaya warga , serta
sawah tadah hujan seluas 152 hektar, dan yang paling mengejutkan adalah PLTU
ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang
merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu
karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai
wilayah di Pantai Utara Jawa.
Penyataan
penolakan juga disampaikan M. Ali Tafrihan, warga Karanggeneng, yang sebelumnya
sempat di kriminalisasi karena menolak pembangunan PLTU Batang. Rihan mengatakan,
belasan ribu nelayan akan kehilangan mata pencahariannya jika pemerintah Jepang
bersikeras melanjutkan investasinya di PLTU Batang, investasi Jepang di PLTU
Batang ini merupakan investasi pada proyek jahat, karena sejak awal proyek jahat ini sudah memakan banyak korban, mulai dari korban pelanggaran
HAM, korban penggusuran lahan , dan potensi
menjadi korban perampasan tanah”
Kata M. Ali Tafrihan, Warga Desa Roban.
“Saya adalah korban pelanggaran HAM dari investasi jahat ini, saya di
penjara selama hampir 6 bulan karena menolak proyek jahat ini dan dalam
pengadilan saya terbukti sama sekali tidak bersalah,” kata M. Ali Tafrihan.
Ridwan
Bakar dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, pemerintah
Jepang harus membatalkan investasi mereka dalam pembangunan PLTU Batang, karena
investasi mereka telah terbukti menimbulkan banyak permasalahan di tengah
masyarakat, mulai dari pelanggaran HAM, penggusurah lahan, dan kriminalisasi
terhadap warga. “Investasi Jepang untuk
PLTU Batang berpotensi akan memiskinkan warga sekitar, pemerintah Jepang tidak punya pilihan lain,
selain hengkang dari proyek jahat ini,” tegas Ridwan Bakar..
Selain itu,
Wahyu Nandang Herawan dari LBH Semarang menambahkan, jika Pemerintah Indonesia tuli terhadap suara
masyarakatnya, dan buta terhadap penderitaan warganya, maka Pemerintah Jepang
yang harus lebih bijak dalam mengambil keputusan. “Bersikeras melanjutkan
rencana investasi pada proyek jahat ini
berarti menutup mata dan telinga terhadap suara masyarakat yang mempertahankan
mata pencaharian dan penghidupan mereka,” kata Wahyu Nandang Herawan, Aktivis
LBH Semarang.
Arif
Fiyanto dari Greenpeace Indonesia juga menambahkan,, Hatta Rajasa sebagai salah
satu kandidat presiden di Pemilu 2014, harus mau mendengarkan aspirasi
warganya, bersikeras melanjutkan rencana pembangunan PLTU Batang ditengah
besarnya penolakan warga berarti tidak peduli terhadap suara rakyat. “Rakyat
tentu tidak akan memilih kandidat presiden yang tidak peduli terhadap nasib
mereka,” tambah Arif Fiyanto, dari Greenpeace Indonesia.
Link :www.mongabay.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar