Sabtu, 29 Januari 2011

Andreas Harsono di Yogyakarta

Andreas Harsono di Yogyakarta

Oleh Tommy apriando



Selasa, 8 Maret 2011. Pukul 08.00. Bertempat di Ruang sidang lantai III, Fakulas hukum UII. Andreas harsono ada di Yogyakarta. Dia akan melaunching dan mendiskusikan buku terbarunya. Buku dia berjudul "Agama saya Adalah Jurnalisme".

Buku Agama Saya Adalah Jurnalisme, terbit Desember 2010 oleh Kanisius Jogjakarta.Buku ini merupakan kumpulan dari 34 naskah dari Andreas harsono terbitan antara 1999 dan 2010. Buku ini adalah kritik Andreas terhadap liputan media soal Acheh, Pontianak, Papua dsb maupun campur-aduk kepentingan bisnis dan redaksi.

Andreas Harsono writer in Jakarta, finalizing traveloque A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, in Malay wrote anthology Agama Saya Adalah Jurnalisme and co-authored Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Helped set up Jakarta's Alliance of Independent Journalists, the Institute for the Studies on Free Flow of Information, Pantau Foundation and the Bangkok-based Southeast Asia Press Alliance. Member of the International Consortium for Investigative Journalists. A Nieman Fellow on Journalism at Harvard University.( About me, http://andreasharsono.blogspot.com/)

Bagi yang ingin membeli buku Agama Saya Adalah Jurnalisme,kalian bisa mendapatkan buku ini di Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan FH UII. Buku ini dapat di beli di toko buku Gramedia, Toko Buku Kanisius Jogja, Togamas Jogja dengan harga Rp. 50.000,-, (Ada diskon khusus untuk pembelian dan pemesanan di LPM Keadilan) 
Hub : Ockhy :085727348080 (LPM Keadilan)
 

Jumat, 28 Januari 2011

Apakah Intelijen Alat Kekuasaaan?

Apakah Intelijen Alat Kekuasaaan?

Oleh Tommy Apriando

”Penguasa akan terus menjadikan Intelijen sebagai alat politik, agar tetap bertahan di Singgasana.

                Sejak keruntuhan penguasa dan rezim Orde Baru yang pernah mereka dukung secara all out (penuh), Intelijen Indonesia saat itu menjadi seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Intelijen kehilangan pegangan sehingga terlihat seakan tidak bisa berdiri kokoh. Hal ini bisa dimengerti karena rezim Orde Baru merupakan klien utama dari intelijen. Pada saat itu terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara intelijen dengan pemerintah Orde Baru, yaitu suatu komitmen untuk saling mengamankan posisi masing-masing. Semua pasti masih ingat kerusuhan  juli tahun 1998 lalu, pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan terhadap warga keturunan merupakan peristiwa mengerikan sepanjang ingatan manusia. Sayangnya peristiwa itu sampai saat ini belum juga diketemukan siapa dalangnya, begitu juga dengan pertikaian etnis di Ambon, Poso, Sampit atau serangan teror dalam skala yang kecil seperti peledakan bom yang tidak memakan korban maupun skala besar seperti tragedi bom Bali,I dan II, tragedi Bom JW Mariot dan Bom Kuningan, terror di Aceh dan di Jawa Tengah.
            Fakta-fakta ini mendorong masyarakat menolehkan perhatiannya kepada kinerja intelijen kita. Walaupun beberapa waktu yang lalu, kinerja intelejen telah membuktikan keberhasilannya dalam menangkap jaringan Teror dan menewaskan Dr Azahari dan Nordin M Top sebagai gembong teroris yang paling dicari otoritas keamanan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini atapun teroris lainya yang berhasil di tangkap di beberapa daerah di Indoneisa, akan tetapi masyarakat masih belum percaya bahwa ancaman teror telah lenyap di Indonesia. Itu artinya kinerja dunia intelijen masih dipertanyakan. Selain sorotan dalam aspek hasil, kinerja intelijen juga mendapatkan sorotan terutama dalam empat hal. Pertama, dalam kaitan dengan struktur organisasi dan kordinasi dari lembaga ini. Kedua, berkaitan dengan profesionalisme dalam melakukan deteksi dini. Ketiga, berkaitan dengan jaminan kinerja lembaga ini terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Keempat, berkaitan aspek pengawasan terhadap lembaga ini. Selain keempat faktor itu lembaga intelijen juga masih diragukan apakah telah benar-benar bebas dari karakteristik intelijen pemerintah otoriter yang sarat dengan interest politik, bukan sebagai mata dan telinga pengambil kebijakan untuk melindungi rakyat. Hal ini di karenakan fungsi intelejen saat ini hanya sebagai alat politik penguasa.
            Mungkin kita masih ingat intelejen pada masa pemerintahan Soeharto berkuasa sedemikian kuat dan berpengaruh, sampai-sampai tak ada satu peristiwa pun yang tak sampai ke telinga intelejen. Kasus-kasus besar bisa segera diselesaikan sebelum merebak kemana-mana. Terutama kasus yang bersangkutan dengan kekuasaan Soeharto, Intelijen akan menggunakan segala cara untuk menumpasnya. Peristiwa Priok misalnya, kasus pelanggaran HAM selama rezim Orde Baru itu terjadi berdasarkan skenario yang dirancang intelejen agar pemberontakan meletus sehingga mereka memiliki alasan untuk menyapu bersih pihak-pihak yang dianggap membahayakan kekuasaan sang presiden. Menang pada saat itu peran intelejen demikian dominan dalam menentukan kebijakan pemerintah, Soeharto sadar betul akan pentingnya peran intelijen dan menggunakan kekuatannya untuk melibas lawan-lawan politik. Terlepas dari itu semua, kinerja intelejen saat ini perlahan mulai menemukan arah, walaupun perlu perbaikan di beberapa lini, terkait dengan koordinasi yang kurang, lemahnya lini deteksi dari Intelejen dan mengedepankan prinsip HAM dalam operasi Intelijen, serta menegaskan siapakah klien intelejen itu sendiri.

Kurang Koordinasi
                Kurangnya kordinasi intelijen merupakan suatu realitas. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan payung hukum  yang cukup kuat. Hingga kini  tidak terdapat payung hukum setingkat Undang-Undang yang telah dibuat melalui proses demokratik untuk melakukan kordinasi antara organisasi-organisasi intelijen yang ada di Indonesia. Ketentuan hukum yang ada hanyalah berdasarkan inisiatif sepihak dari eksekutif tanpa melibatkan diskusi panjang dengan legislatif. Hal ini misalnya melalui Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2002 yang memberikan wewenang bagi pimpinan Badan Intelijen Negara untuk melakukan koordinasi semua kegiatan intelijen dalam negara demokratik, ketentuan hukum semacam ini tentu saja tidak memadai. Payung hukum  setingkat Undang-Undang diharapkan dapat meningkatkan kinerja dari seluruh komunitas intelijen yang ada di Indonesia. Kebutuhan untuk kordinasi itu menyiratkan juga bahwa komunitas intelijen memang harus dapat dibedakan dari wilayah geraknya. 
                Sebaliknya , yang muncul dari pemerintah adalah gagasan untuk mengaktifkan Komando Terotorial (KOTER). Ada dua pandangan terhadap usulan untuk memperkuat kapasitas intelijen itu dengan cara mengaktifkan kembali fungsi intelijen TNI melalui bangunan struktur territorialnya. Di satu sisi, terdapat yang menolak karena dianggap akan dapat menjadi titik masuk bagi TNI untuk kembali kepada masa Orde Baru. Pandangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa fungsi pokok TNI adalah menghadapi ancaman serangan militer yang berasal dari luar. Ada kekhawatiran bahwa jika TNI digunakan untuk melaksanakan fungsi intelijen domestik, maka fungsi pokok dari TNI itu akan menjadi tidak efektif dan bahkan mungkin akan semakin menyulitkan upaya-upaya agar TNI menjadi tentara yang professional. Pandangan kedua yang mendukung gagasan tersebut. Pandangan ini kemungkinan besar didasarkan pada pemikiran bahwa kapasitas intelijen dari BIN dan POLRI untuk menangani teroris sangat terbatas karena itu perlu diperkuat oleh TNI.

Lemahnya Deteksi dari Intelijen 
            Teror dan konflik yang terjadi di Indonesia, menggambarkan lemahnya kapasitas intelijen untuk melakukan upaya preemptif dan preventif dalam mencegah huru-hara, teror dan konflik. Padahal selama ini mereka menganut kontijensi eskalasi, secara teoretik akan didahului oleh adanya situasi-situasi yang mendahului, mereka menyebut dengan istilah pra konflik. Tidak mudah untuk mencari jawaban mengapa mereka selalu kecolongan. Salah satu faktornya adalah persaingan antara TNI dan Polri mengenai space keamanan dalam negeri yang menyebabkan lemahnya koordinasi bidang intelijen. Intelijen Indonesia seakan-akan bergerak sendiri-sendiri.
Polri sebenarnya memiliki data yang cukup, problemnya terletak pada good will untuk melakukan tindakan pemberantasan terhadap kriminalitas yang terjadi. Selama ini, Polisi bekerja menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang berlaku. Pola kerjanya, mengumpulkan bukti-bukti hukum untuk menjerat orang yang dicurigai sebagai pelaku tindak kejahatan. Namun begitu, ternyata pengetahuan intelijen Polisi sangat terbatas pada pengusutan dan sedikit tentang penyelidikan. Melihat kondisi tersebut diatas maka perlu perbaikan cara-cara kerja intelijen. Baik di tingkat intelijen negara, TNI maupun Polri.

Mengedepankan Prisip HAM dalam Operasi Intelijen
            Sebuah negara demokratik idealnya memiliki beberapa lembaga intelijen yang diberi kewenangan dan ruang gerak yang berbeda untuk mencegah muncul lembaga intelijen dengan kewenangan terlalu luas.  Selain itu sepak terjang aparat inteljen selaian harus mampu memberikan analisis terhadapa intensitas ancaman kemanan dan kriminal, harus juga selalu mempertimbangkan parameter-parameter HAM sebagi nilai universal. Jika tidak, maka kinerja intelijen selain akan mengundang kecaman internasional, aparat intelijen nantinnya akan menjadi bulan-bulanan gerakan Hak Asasi Manusia internasional.
            Untuk itu operasi inteljen harus didasarkan kepada standar-standar Internasional agar operasi intelijen terhindar dari tudingan pelanggaran HAM. Council of Europe mengadopsi sedikitnya enam prinsip yang harus dipenuhi pemerintah ketika wewenang khusus lembaga intelijen diterapkan, khususnya dalam konteks upaya kontra terorisme. Pertama, segala upaya kontra terorisme negara harus menghormati HAM dan suprermasi hukum serta menghindari segala bentuk tindakan diskriminatif atau rasis. Kedua, segala tindakan kontra terorisme harus didasarkan pada hukum dan suatu tindakan yang membatasi pemenuhan HAM harus didefinisikan sejelas mungkin dan proporsional dengan tujuan yang akan dicapai. Ketiga, penggunaan metode penyiksaan atau perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan tidak boleh dilakukan dalam situasi apa pun, khususnya ketika penangkapan, interogasi, maupun penahanan seorang tersangka atau tertuduh teroris. Keempat, tindakan pengumpulan informasi dalam konteks upaya kontra terorisme hanya dapat melanggar ruang pribadi individual hanya bila tindakan itu sudah diatur oleh hukum dalam negeri, proporsional dengan maksud yang dituju dari tindakan tersebut, dan dapat diawasi oleh lembaga eksternal independen. Kelima, segala tindakan kontra terorisme harus direncanakan dan dikendalikan oleh pihak yang berwenang untuk menghindari penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Penggunaan senjata oleh pihak yang berwenang harus dilakukan dengan batasan yang ketat dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Keenam, dalam kondisi apa pun negara tidak diperkenankan melakukan pelanggaran terhadap hak untuk hidup, larangan melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, prinsip legalitas pernyataan dan tindakan, dan larangan pemberlakukan efek retrospektif hukum pidana.

Klien Intelijen           
Melihat dari beberapa koreksi kinerja Intelijen yang telah dijalankan, ada beberapa yang perlu diperbaiki dan ada beberapa yang perlu dipertahankan. Ketidakmampuannya menyelesaikan berbagai kasus membuat masyarakat menduga-duga, mungkin setiap teror ataupun konflik yang terjadi intelijen ikut bermain didalamnya, apabila itu benar jelas bahwa kinerja intilijen hanyalah sebagai alat politik penguasa yang setiap saat informasi mereka bisa dibeli untuk mengalihkan isu nasional yang mengancam penguasa.
            Meskipun demikian keberadaan intelejen dalam suatu negara mutlak diperlukan, seperti yang dituturkan oleh DR. A.C Manullang, intelejen adalah mata, telinga, hidung lidah dan pikiran. Suatu negara tanpa intelijen adalah buta, tapi tentunya intelijen yang senantiasa menciptakan rasa aman untuk rakyat dan menggunakan sistem one clien organitation, dimana intelejen hanya mengabdi pada satu klien yaitu Rakyat.  
           
***