Rabu, 17 Agustus 2011

Info buat para penikmat Teather dan Wayang

Info buat para penikmat Teather dan Wayang. Ayo saksikan bersama acara ini.



Gratis Pertunjukan musik teater dan tari 'Histoire Du Soldat'   
19 Agustus 2011 pukul 20.00 (1st show)   
20 Agustus 2011 pukul 20.00 ( 2nd show)
  dengan pertunjukan wayang 'Si Bulbul' oleh Slamet Gundono
di Erasmus Huis Jakarta

Kamis, 04 Agustus 2011

Reformasi Kejaksaan dan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu


Reformasi Kejaksaan dan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Oleh Tommy Apriando*

Sudah 13 tahun reformasi berlalu dan akan terus bergulir. Salah satu tuntutan orde reformasi adalah pembaruan reformasi hukum, salah satunya institusi Kejaksaan. Namun, setelah 13 tahun berlalu, apakah Kejaksaan telah mereformasi diri?

Hari-hari ini publik kita begitu rendah tingkat kepercayaannya (public distrust) pada institusi hukum, tak terkecuali kejaksaan karena tak mampu menjalankan imperatif hukum secara serius dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral keadilan. Tengoklah belakangan ini hukum tak memihak pada keadilan. Bahkan lebih banyak menyisakan duka dan kekecewaan publik tatkala melihat proses jalannya prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan kasus kejahatan terutama korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan uang dilepas begitu saja (SP-3). Tapi terhadap kasus kejahatan yang menimpa rakyat jelata dan miskin relasi uang dan kekuasaan justru diburu untuk dilibat dengan baju hukum. Sedangkan beberapa kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum tuntas dan mandeg di Kejaksaan Agung adalah kasus Trisakti dan Semanggi I dan II, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, dan kasus kerusuhan Mei 1998. Serta, kasus Talangsari dan kasus Wamena, Papua.

Bagaimanapun kinerja institusi kejaksaan belakangan ini benar-benar sedang diperhadapkan dengan persoalan profesionalitas. Banyak sudah fakta yang bisa dijadikan bukti konkret bahwa kinerja kejaksaan memang sedang mengalami kemunduran. Berangkat dari persoalan itulah, kemudian publik mencoba turut berpartisipasi dalam menata dan membangun kembali lembaga kejaksaan yang berwibawa dan bermartabat. Tergerusnya simpati dan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, khususnya korps Adhyaksa, selama ini tidak dapat dimungkiri sebagai buah dari kegagalan Jaksa Agung dalam mereformasi kultur dan watak para jaksa yang masih berkutat pada pola lama. Sistem penanganan perkara yang selama ini masih lebih menonjolkan semangat korps yang berlebihan telah berhasil menggiring wajah hukum negeri ini menjadi amburadul dan karut-marut.

Teramat sulit juga untuk dibantah bahwa proses hukum yang sering tidak independen, tebang pilih, dan mengabaikan rambu-rambu kepatutan tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pimpinan kejaksaan dalam menanamkan prinsip independensi dan profesionalitas terhadap para personelnya. Sebagai dampak turunannya, bermunculanlah berbagai persoalan hukum yang tidak jarang membuat miris nurani publik. Tradisi ini pun kemudian mengakar dan membudaya. Kendati publik melontarkan berbagai kritik tajam, karena karakter yang sudah mendarah daging,  kepekaan terhadap tuntutan publik pun menjadi hilang. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Inilah tradisi yang kerap dipertontonkan oleh lembaga penegak hukum bangsa ini.


Upaya Reformasi Kejaksaan
Dalam melakukan reformasi Institusi Kejaksaan tidaklah mudah, perlu komitmen yang tinggi. Jaksa Agung harus melakukan reformasi menyeluruh dan total pada tubuh  institusi Kejaksaan Agung. Reformasi ini dapat dimulai dengan  melakukan audit kinerja, performa dan kekayaan seluruh staf pada  institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung juga harus membuat struktur kejaksaan yang berbasis kinerja, membuat penjejangan karir dengan model open system dan membangun proses rekruitmen jaksa yang transparan dan akuntabel. Jaksa Agung harus berani mengambil tindakan yang tegas dan keras terhadap seluruh staf institusi Kejaksaan yang melakukan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, tidak akuntabel, dan tidak memiliki kapasitas yang baik untuk menjadi staf Kejaksaan.

Program Reformasi Kejaksaan sudah dicanangkan Kejaksaan sejak 2005 silam. Dua tahun setelah program itu dicanangkan, terbit enam Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang merngatur tentang rekrutmen calon jaksa dan calon pegawai, pembinaan karir, standar minimum profesi jaksa, kode perilaku jaksa, penyelenggaraan diklat dan penyelenggaraan pengawasan. Namun implementasi program reformasi birokrasi tak berjalan sebagaimana mestinya. Terungkapnya kasus jaksa Cirus Sinaga dan kasus-kasus lain penyimpangan kewenangan lainnya menunjukkan reformasi birokrasi belum sepenuhnya berhasil.

Berbagai upaya harus dilakukan oleh Jaksa Agung untuk segera menangani kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara serius dan bertanggungjawab tanpa penundaan, terlebih melakukan penghentian ataupun deponering terhadap kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang berat. Sebab tanpa perubahan kinerja yang terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, reformasi institusi dapat jatuh sebagai politik pencitraan semata, dan Kejaksaan Agung justru kembali berpotensi melanggar keadilan korban karena pengabaian penanganan perkara justru menjadi satu bentuk penundaan keadilan bagi korban.

Hal penting lain yeng menjadi pekerjaan rumah adalah, kejaksaan tidak boleh melupakan berbagai kasus lain yang butuh penyelesaian cepat dan sistematis. Tiga prioritas yang juga mesti menjadi fokus kerja kejaksaan adalah: pembalakan liar, narkoba, dan pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam ketiga wilayah kerja tersebut setidaknya kejaksaan dapat memastikan segera kasus-kasus besar yang terjaring. Khusus terkait kasus pelanggaran HAM berat, harus dipastikan terlebih dulu apakah kasus-kasus tersebut bisa diproses penyidikan dan penuntutannya ataukah tidak. Yang juga penting adalah penuntutan yang maksimal terhadap kasus-kasus besar tersebut dan diupayakan seoptimal mungkin bisa berhasil. Karena, lepasnya kasus-kasus besar di kejaksaan adalah juga karena lemah dan minimalnya penuntutan yang dilakukan kejaksaan. Terakhir, membentuk tim ad hoc di semua level dan kasus-kasus besar tersebut.

Dengan melihat kerja kejaksaan yang berat dan cakupannya yang luas, kualifikasi untuk jaksa agung pun patut menjadi pertimbangan. Seorang jaksa agung di masa genting seperti sekarang mensyaratkan figur yang memiliki kemampuan leadership, bersih, punya visi dan integritas yang tinggi, tegas dan berani bahkan seandainya harus menjadi martir dalam menjalankan tugasnya, bukan bagian dari masa lalu, memiliki keterampilan teknis hukum yang bagus dan memadai (setidaknya memiliki pengalaman) serta punya track record (rekam jejak) dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia. Satu hal yang tak kurang urgensinya: Keberanian mengundurkan diri tanpa diminta jika terbukti gagal. Namun dalam pelaksaaan itu semua, kita kembalikan kepada institusi yang seharusnya agung tersebut.


Rabu, 13 April 2011

RUU Intelijen Negara dan Ancaman Kebebasan Sipil


RUU Intelijen Negara dan Ancaman Kebebasan Sipil

Oleh Tommy Apriando

Sejak keruntuhan penguasa rezim Orde Baru yang pernah mereka dukung secara all out (penuh), Intelijen Indonesia menjadi seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Intelijen kehilangan pegangan sehingga terlihat seakan tidak bisa berdiri kokoh. Hal ini bisa dimengerti karena rezim Orde Baru merupakan klien utama dari intelijen. Pada saat itu terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara intelijen dengan pemerintah Orde Baru, yaitu suatu komitmen untuk saling mengamankan posisi masing-masing. Semua pasti masih ingat kerusuhan tahun 1998 lalu, pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan terhadap warga keturunan merupakan peristiwa mengerikan sepanjang sejarah bangsa.Fakta-fakta ini mendorong masyarakat menolehkan perhatiannya kepada kinerja intelijen kita.

Teror “bom buku” satu bulan terakhir terus terjadi. Namun intelijen tidak juga dengan cepat dan tanggap menemukan dalang dan pelaku teror bom tersebut. Hal ini membuat masyarakat masih akan terus mendapatkan ancaman teror di Indonesia. Itu artinya kinerja dunia intelijen masih dipertanyakan. Selain sorotan dalam aspek hasil, kinerja intelijen juga mendapatkan sorotan terutama dalam empat hal. Pertama, dalam kaitan dengan struktur organisasi dan kordinasi dari lembaga ini. Kedua, berkaitan dengan profesionalisme dalam melakukan deteksi dini. Ketiga, berkaitan dengan jaminan kinerja lembaga ini terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Keempat, berkaitan aspek pengawasan terhadap lembaga ini. Selain keempat faktor itu lembaga intelijen juga masih diragukan apakah telah benar-benar bebas dari karakteristik intelijen pemerintah otoriter yang sarat dengan interest politik, bukan sebagai mata dan telinga pengambil kebijakan untuk melindungi rakyat. Hal ini di karenakan fungsi intelejen saat ini hanya sebagai alat politik penguasa bukan sebagai klien warga negara.

Kewenangan tambahan bagi Intelijen

Selasa, 22 Maret 2011. Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi I DPR RI dengan Badan Intelijen Negara, parlemen bersama pemerintah berencana mengesahkan draft RUU Intelijen Negara menjadi Undang-Undang Intelijen pada 2011. Munculnya RUU  tentang Intelijen Negara sebagai langkah antisipasi pemerintah menghadapi masalah keamanan negara, termasuk terorisme.  Namun demikian, pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Intelijen itu sudah semestinya menjadi bagian yang tidak terpisah dari reformasi intelijen. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip dasar penting dalam kehidupan kenegaraan yang demokratik sudah sepatutnya menjadi bagian yang berkesesuaian di dalam Undang-Undang Intelijen.

Namun dalam draft RUU Intelijen Negara yang sedang dibahas parlemen belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip-prinsip negara demokratik dan justru menimbulkan persoalan serius terhadap tata nilai kehidupan negara demokratik itu sendiri,   Hal ini sudah tentu karena yang akan menjadi objek adalah masyarakat sipil. Apabila penerapannya salah maka akan mengembalikan suasana bangsa yang sedang membangun demokratisasi kembali ke rezim Orde baru. Dalam RUU Intelijen Negara terdapat beberapa hal yang sangat mendasarkan menyangkut hak-hak dasar warga  negara, yang sangat mungkin akan terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. Karena, di dalam RUU Intelijen Negara, pemerintah dan parlemen mengajukan usulan untuk memberikan kewenangan kepada aparat intelijen mempunyai kewenangan melakukan penyadapan serta penangkapan selama 7 x 24 jam. Ketentuan ini tidak relevan dengan tugas intelijen. Lembaga intelijen bukanlah bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan penangkapan. Karena hal ini dapat mengancam kebebasan sipil, merusak prinsip negara hukum dan demokrasi dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia serta rentan akan penyelahgunaan 
 wewenang.

Mengedepankan Prisip HAM dalam RUU Intelijen Negara

Sebuah negara demokratik idealnya memiliki beberapa lembaga intelijen yang diberi kewenangan dan ruang gerak yang berbeda untuk mencegah muncul lembaga intelijen dengan kewenangan terlalu luas.  Selain itu sepak terjang aparat inteljen selaian harus mampu memberikan analisis terhadapa intensitas ancaman kemanan dan kriminal, harus juga selalu mempertimbangkan parameter-parameter HAM sebagi nilai universal. Jika tidak, maka kinerja intelijen selain akan mengundang kecaman internasional, aparat intelijen nantinnya akan menjadi bulan-bulanan gerakan Hak Asasi Manusia internasional. Pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen masih menimbulkan multitafsir dan bersifat karet. Pengaturan yang karet dan multitafsir ini mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.  Hal penting lainnya yang harus di pertimbangka dalam RUU Intelijen Negara yaitu pemberian kewenangan menangkap kepada intelijen. Kewenangan ini dapat mengancam hak asasi manusia dan merusak mekanisme criminal justice system. Pemberian kewenangan itu sama saja dengan melegalisasi penculikan dalam undang-undang intelijen mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia. Penting untuk diingat bahwa badan intelijen negara adalah bagian dari lembaga intelijen non-judicial yang tidak termasuk menjadi bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan menangkap itu. Dalam negara hukum, kewenangan menangkap maupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum.
           
Untuk itu operasi inteljen harus didasarkan kepada standar-standar Internasional agar operasi intelijen terhindar dari tudingan pelanggaran HAM. Council of Europe mengadopsi sedikitnya enam prinsip yang harus dipenuhi pemerintah ketika wewenang khusus lembaga intelijen diterapkan, khususnya dalam konteks upaya kontra terorisme. Pertama, segala upaya kontra terorisme negara harus menghormati HAM dan suprermasi hukum serta menghindari segala bentuk tindakan diskriminatif atau rasis. Kedua, segala tindakan kontra terorisme harus didasarkan pada hukum dan suatu tindakan yang membatasi pemenuhan HAM harus didefinisikan sejelas mungkin dan proporsional dengan tujuan yang akan dicapai. Ketiga, penggunaan metode penyiksaan atau perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan tidak boleh dilakukan dalam situasi apa pun, khususnya ketika penangkapan, interogasi, maupun penahanan seorang tersangka atau tertuduh teroris. Keempat, tindakan pengumpulan informasi dalam konteks upaya kontra terorisme hanya dapat melanggar ruang pribadi individual hanya bila tindakan itu sudah diatur oleh hukum dalam negeri, proporsional dengan maksud yang dituju dari tindakan tersebut, dan dapat diawasi oleh lembaga eksternal independen. Kelima, segala tindakan kontra terorisme harus direncanakan dan dikendalikan oleh pihak yang berwenang untuk menghindari penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Penggunaan senjata oleh pihak yang berwenang harus dilakukan dengan batasan yang ketat dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Keenam, dalam kondisi apa pun negara tidak diperkenankan melakukan pelanggaran terhadap hak untuk hidup, larangan melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, prinsip legalitas pernyataan dan tindakan, dan larangan pemberlakukan efek retrospektif hukum pidana.


Tulisan ini di muat di koran Jurnal Nasional, Rabu, 13 April 2011

Selasa, 22 Maret 2011

Nol Tolerasi Beragama = Kembali Orde Baru

Nol Tolerasi Beragama = Kembali Orde Baru

Oleh Tommy Apriando

Persoalan keyakinan atau beragama di negara ini tak kunjung usai. Rabu, 15 Maret 2011, bom  meledak di KBR 68 H. Bahkan sampai saat ini masih terus terjadi teror bom dan semakin meluas. Kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah masih terjadi. Kekerasan mengatasnamakan agama. Orde baru selalu menerapkan cara yang serupa, teror, intimidasi dan kekerasan. Konstitusi negara sendiri secara jelas telah memberikan kebebasan kepada warga negara untuk memilih jalan hidupnya dalam menentukan kepercayaannya. Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.

Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama. Dalam soal beragama, konstitusi tidak mengisyaratkan konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.

Mengutip peryataan Yenny Wahid yang mengatakan,"Anarkisme yang mengatasnamakan agama terus meningkat, dan pemerintah terlihat takut dengan kelompok yang mengusung Islam. Kami tidak menginginkan Indonesia seperti Afganistan dibawah kendali Taliban," tulis New York Post, Selasa (21/9). New York Post juga mengomentari pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai membingungkan. Di satu sisi, Presiden SBY menyatakan tidak ada ruang bagi kekerasan terhadap siapapun untuk alasan apapun. Sisi lain, Presiden SBY juga mengutuk rencana pembakaran Alquran yang juga diikuti dengan surat Presiden SBY kepada Presiden Obama.

Dalam hal ini saya teringat dengan pendapat Gus dur, jangan terlalu banyak mengambil peran Tuhan untuk menilai benar dan salah. Padahal kebenaran yang sesungguhnya adalah hanya Tuhan yang bisa menilainya. Manusia hanya bisa menafsirkan yang tentu saja penafsirannnya berpotensi salah dan benar.
Terlepas Ahmadiyah dicap sesat menyesatkan bagi kelompok tertentu, mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus dilindungi. Mereka berhak untuk hidup tenang dan bebas menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut sebagaimana warga lainnya di Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum, semua warganya harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Tidak boleh main hakim sendiri. Jika ada kelompok tertentu yang mencoba untuk menghakimi kelompok lain itu berarti pelecehan pada agama dan negara. Sudah saatnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyodo bertindak cepat dan tegas pada pelaku kekerasan ini. Bukan membiarkan apalagi memeliharanya yang setiap waktu bisa dimunculkan sesuai dengan kepentingannya.

Kebebasan dan toleransi beragama merupakan nilai yang sangat penting dan perlu dijunjung tinggi oleh setiap komponen bangsa Indonesia. Kebebasan ini merupakah hak individu umat manusia yang paling dasar seperti halnya kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan menjalankan ibadah dengan bebas, bekerja, dan menggunakan waktu luang sesuai dengan pilihannya sendiri serta menikmati rasa aman dari pembatasan sewenang-wenang pihak lain.

SBY sebagai kepala pemerintahan berkewajiban menjamin warganya hidup dalam kondisi di mana setiap individu bangsa Indonesia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain sebagaimana jamaat Ahmadiyah. Besar harapan dari penulis, sudah saatnya umat beragama lebih bijak menyikapi perbedaan keyakinan dalam beragama. Pemahaman agama yang sempit dan kurang sensitif pada kelompok lain dapat dipastikan keliru memahami agamanya.

Mengapa masih ada kelompok-kelompok tertentu yang sangat geram atas keberadaan Ahmadiyah? Apakah betul mereka menentang Ahmadiyah atas panggilan agama? Adakah motif ekonomi dan politik yang mendorong gerakan mereka sehingga mampu bertindak bringas dengan cara membakar fasilitas Ahmadiyah seperti musholla, masjid, sekolah, membakar kitab sucinya, rumah, mobil dan melenyapkan orangnya?

Besar kemungkinan pelakunya adalah mereka yang anti agama. Kalaupun mereka mengaku beragama, agama hanya dijadikan alat legitimasi untuk membenarkan aksi brutalnya. Hanya agama barbar dan semangat setan saja yang bisa mendorong pemeluknya untuk melakukan aksi kekerasan. Bisa saja aksi warga yang digerakkan secara sistematis ini, motifnya adalah ekonomi dan politik di tengah kehidupan masyarakat yang miskin dan penggangguran.

Tapi yang jelas kekerasan atas nama apapun lebih-lebih menghilangkan nyawa seseorang adalah perbuatan melanggar hukum dan terlarang. Pelakunya harus ditangkap dan diberikan hukuman seberat-beratnya. Tidak ada agama satupun di dunia yang membolehkan pemeluknya untuk membunuh orang lain.

Indonesia dengan semboyan Binneka Tunggal Ika terus diuji. Keberadaan Ahmadiyah yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia masih dianggap ancaman bahkan lebih serius ancamannya dibandingkan koruptor dan teroris. Tidak heran jika jamaat Ahmadiyah yang sudah puluhan tahun tinggal di bumi pertiwi ini selalu diuber-uber keberadaannya. Padahal mereka tidak mengganggu warga apalagi menjarah uang negara seperti Gayus dan koruptor lainnya.

Untuk mengatasi situasi genting beragama, menurut Azyumardi Azra menekankan pentingnya kembali pada empat komitmen dasar Indonesia, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan slogan Bhinneka Tunggal Ika disebutnya adalah pengakuan terhadap multikulturalisme dan pluralisme, yang nyata ada di Indonesia.

Tragedi Ahmadiyah yang menelan tiga nyawa cukuplah kita jadikan pelajaran berharga untuk kembali pada ajaran agama yang sebenar-benanrya dengan menghadirkan nilai kasih Tuhan yang penuh toleran tidak hanya dirasakan dalam kehidupan pribadi, kelompoknya tapi juga dengan kelompok lain. Dengan demikian impian hidup penuh damai dalam keragaman akan menjadi kenyataan bagi Indonesia yang maju dan penuh kasih sayang.  Saat ini sudah waktunya pemimpin nasional memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi Indonesia. Caranya, bukanlah melalui indoktrinasi seperti masa Orde Baru, tapi pendidikan multikultural, kewarganegaraan, dan demokrasi. 

Tulisan ini di mat di koran Jurnal Nasional 21 Maret 2011

Selasa, 01 Maret 2011

Asmara Nababan; Sang Pencerah Penegakan HAM


Asmara Nababan; Sang Pencerah Penegakan HAM

Oleh Tommy Apriando


Judul                : Asmara Nababan : Oase Bagi Setiap Kegelisahan
Penulis            : Perkumpulan Demos (Kontras, ELSAM, HIVOS, Komnas HAM, INFID, Demos ) dan Sahabat Asmara Nababan
Penerbit           : Perkumpulan DEMOS, Jakarta
Terbit              : I, Januari 2011
Tebal               : 313 + XIV halaman

Kalangan yang bergelut dengan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pastilah mengenal Bang As. Demikian Asmara Nababan biasa dipanggil. Satu sosok yang sepanjang hidupnya diabdikan untuk melawan segala jenis ketidakadilan dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Buku ini berisi rekam jejak perjalanan panjang nan terjal yang dilalui Bang As demi menegakkan HAM. Sepak terjangnya, mulai dari membangun KSPPM, Infid, Elsam, Kontras,  Demos, KKPK sampai menjadi Komisioner Komnas HAM.
Buku ini tidak ditulis untuk mendewakan, melukiskan Bang As sebagai pahlawan HAM yang sempurna. Buku ini justru menuturkan Bang As selayak manusia biasa yang terbatas. Akan tetapi keterbatasan itu tak bisa mencegahnya untuk menebar cahaya, menerangi gelapnya penegakan hukum dan HAM di negeri ini.
Sejarah mencatat, Penegakan hukum dan HAM di Indonesia susah sekali digapai, cenderung stagnan. Semua itu karena aparat-aparat pemerintahan sendiri banyak yang terlibat dalam pelanggaran HAM, bisnis kotor dan lain sebagainya. Pejuang HAM seringkali mendapatkan represi, intimidasi bahkan penghilangan nyawa seperti yang terjadi pada Munir. Nah, Bang As adalah salah satu orang kuat yang berhasil menjaga idealismenya dalam penegakan HAM. Ditengah badai represi dia tetap kukuh menyuarakan keadilan HAM –yang masih semrawut sampai dia meninggal.
Saat ini, gerakan sosial dan masyarakat sipil menjamur namun tidak banyak memberi pengaruh pada proses demokrasi. Kritik-kritik masyarakat sipil tak berpengaruh signifikan pada kebijakan publik. Kekuatan mereka malah cenderung melemah dan kalah oleh elit politik yang menginjak-injak demokrasi.  Hal inilah yang membuat Antonio Pradjasto H, Direktur Eksekutif Demos berinisiatif menerbitan kisah perjalanan hidup Bang As ini. Dia berharap, kisah Bang As mejadi inspirasi banyak orang dalam perjuangan pengembangan masyarakat sipil yang kuat (hal. xii).
Buku ini sebenarnya disiapkan sebagai hadiah ulang tahun Bang As yang ke-60. Namun meleset dan sedikit tragis, karena buku ini akhirnya dilaunching dalam acara peringatan 100 hari kepergian Bang As.
Buku ini ditulis keroyokan oleh sejumlah sahabat Bang As, tentunya untuk menceritakan bagaimana ngototnya Bang As dalam memperjuangkan HAM. Tentang isu-isu yang banyak Bang As perjuangkan. Misalnya Junpiter Pakpahan dan Eliakim Sitorus yang menulis revolusi hijau yang ditulis oleh, tentang diskriminasi perempuan yang ditulis Kamala Chandrakirana, demokrasi dan hukum ditulis A. Patra M. Zen, neoliberalisme oleh Dani Rodrik dan seterusnya.
Buku ini merupakan filantrofi bagi banyak orang. Sikap, perjuangan, keteguhan, idealisme yang dipegang Bang As semasa hidupnya diharap memberikan semangat dalam pemajuan masyarakat sipil di Indonesia. Inilah, buku penting yang wajib dibaca para pejuang demokrasi, hukum dan HAM.