Selasa, 22 Maret 2011

Nol Tolerasi Beragama = Kembali Orde Baru

Nol Tolerasi Beragama = Kembali Orde Baru

Oleh Tommy Apriando

Persoalan keyakinan atau beragama di negara ini tak kunjung usai. Rabu, 15 Maret 2011, bom  meledak di KBR 68 H. Bahkan sampai saat ini masih terus terjadi teror bom dan semakin meluas. Kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah masih terjadi. Kekerasan mengatasnamakan agama. Orde baru selalu menerapkan cara yang serupa, teror, intimidasi dan kekerasan. Konstitusi negara sendiri secara jelas telah memberikan kebebasan kepada warga negara untuk memilih jalan hidupnya dalam menentukan kepercayaannya. Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.

Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama. Dalam soal beragama, konstitusi tidak mengisyaratkan konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.

Mengutip peryataan Yenny Wahid yang mengatakan,"Anarkisme yang mengatasnamakan agama terus meningkat, dan pemerintah terlihat takut dengan kelompok yang mengusung Islam. Kami tidak menginginkan Indonesia seperti Afganistan dibawah kendali Taliban," tulis New York Post, Selasa (21/9). New York Post juga mengomentari pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai membingungkan. Di satu sisi, Presiden SBY menyatakan tidak ada ruang bagi kekerasan terhadap siapapun untuk alasan apapun. Sisi lain, Presiden SBY juga mengutuk rencana pembakaran Alquran yang juga diikuti dengan surat Presiden SBY kepada Presiden Obama.

Dalam hal ini saya teringat dengan pendapat Gus dur, jangan terlalu banyak mengambil peran Tuhan untuk menilai benar dan salah. Padahal kebenaran yang sesungguhnya adalah hanya Tuhan yang bisa menilainya. Manusia hanya bisa menafsirkan yang tentu saja penafsirannnya berpotensi salah dan benar.
Terlepas Ahmadiyah dicap sesat menyesatkan bagi kelompok tertentu, mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus dilindungi. Mereka berhak untuk hidup tenang dan bebas menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut sebagaimana warga lainnya di Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum, semua warganya harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Tidak boleh main hakim sendiri. Jika ada kelompok tertentu yang mencoba untuk menghakimi kelompok lain itu berarti pelecehan pada agama dan negara. Sudah saatnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyodo bertindak cepat dan tegas pada pelaku kekerasan ini. Bukan membiarkan apalagi memeliharanya yang setiap waktu bisa dimunculkan sesuai dengan kepentingannya.

Kebebasan dan toleransi beragama merupakan nilai yang sangat penting dan perlu dijunjung tinggi oleh setiap komponen bangsa Indonesia. Kebebasan ini merupakah hak individu umat manusia yang paling dasar seperti halnya kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan menjalankan ibadah dengan bebas, bekerja, dan menggunakan waktu luang sesuai dengan pilihannya sendiri serta menikmati rasa aman dari pembatasan sewenang-wenang pihak lain.

SBY sebagai kepala pemerintahan berkewajiban menjamin warganya hidup dalam kondisi di mana setiap individu bangsa Indonesia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain sebagaimana jamaat Ahmadiyah. Besar harapan dari penulis, sudah saatnya umat beragama lebih bijak menyikapi perbedaan keyakinan dalam beragama. Pemahaman agama yang sempit dan kurang sensitif pada kelompok lain dapat dipastikan keliru memahami agamanya.

Mengapa masih ada kelompok-kelompok tertentu yang sangat geram atas keberadaan Ahmadiyah? Apakah betul mereka menentang Ahmadiyah atas panggilan agama? Adakah motif ekonomi dan politik yang mendorong gerakan mereka sehingga mampu bertindak bringas dengan cara membakar fasilitas Ahmadiyah seperti musholla, masjid, sekolah, membakar kitab sucinya, rumah, mobil dan melenyapkan orangnya?

Besar kemungkinan pelakunya adalah mereka yang anti agama. Kalaupun mereka mengaku beragama, agama hanya dijadikan alat legitimasi untuk membenarkan aksi brutalnya. Hanya agama barbar dan semangat setan saja yang bisa mendorong pemeluknya untuk melakukan aksi kekerasan. Bisa saja aksi warga yang digerakkan secara sistematis ini, motifnya adalah ekonomi dan politik di tengah kehidupan masyarakat yang miskin dan penggangguran.

Tapi yang jelas kekerasan atas nama apapun lebih-lebih menghilangkan nyawa seseorang adalah perbuatan melanggar hukum dan terlarang. Pelakunya harus ditangkap dan diberikan hukuman seberat-beratnya. Tidak ada agama satupun di dunia yang membolehkan pemeluknya untuk membunuh orang lain.

Indonesia dengan semboyan Binneka Tunggal Ika terus diuji. Keberadaan Ahmadiyah yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia masih dianggap ancaman bahkan lebih serius ancamannya dibandingkan koruptor dan teroris. Tidak heran jika jamaat Ahmadiyah yang sudah puluhan tahun tinggal di bumi pertiwi ini selalu diuber-uber keberadaannya. Padahal mereka tidak mengganggu warga apalagi menjarah uang negara seperti Gayus dan koruptor lainnya.

Untuk mengatasi situasi genting beragama, menurut Azyumardi Azra menekankan pentingnya kembali pada empat komitmen dasar Indonesia, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan slogan Bhinneka Tunggal Ika disebutnya adalah pengakuan terhadap multikulturalisme dan pluralisme, yang nyata ada di Indonesia.

Tragedi Ahmadiyah yang menelan tiga nyawa cukuplah kita jadikan pelajaran berharga untuk kembali pada ajaran agama yang sebenar-benanrya dengan menghadirkan nilai kasih Tuhan yang penuh toleran tidak hanya dirasakan dalam kehidupan pribadi, kelompoknya tapi juga dengan kelompok lain. Dengan demikian impian hidup penuh damai dalam keragaman akan menjadi kenyataan bagi Indonesia yang maju dan penuh kasih sayang.  Saat ini sudah waktunya pemimpin nasional memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi Indonesia. Caranya, bukanlah melalui indoktrinasi seperti masa Orde Baru, tapi pendidikan multikultural, kewarganegaraan, dan demokrasi. 

Tulisan ini di mat di koran Jurnal Nasional 21 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar