Kamis, 05 September 2013

Warga tolak PLTU Batang : Stop Investasi Jahat Jepang di proyek PLTU Batang



Senin 22 Juli 2013 kemarin sekitar 150 orang perwakilan warga Batang yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi  dan didukung oleh aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Semarang dan Greenpeace melakukan aksi protes di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Batang. Dalam kesempatan ini warga menyerahkan surat penolakan mereka  terhadap pembangunan PLTU Batubara Batang kepada Duta Besar Jepang untuk Indonesia.
 
Aksi para perempuan di Batang. Laham mereka bertani terancam hilang karena pembangunan PLTU terbesar di Asia. byTommy Apriando
 

Berdasarkan rilis yang dikirim oleh LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia, aksi protes yang dilakukan warga Batang di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta ini merupakan respon atas pertemuan  Wakil Menteri Senior Kabinet Jepang Yasutosho Nishimura dengan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa terkait kelanjutan rencana pembangunan PLTU Batubara Batang, dalam pertemuan tersebut Yasutosho Nishimura mendesak Hatta Rajasa untuk segera menyelesaikan masalah pembebasan tanah warga  agar pembangunan PLTU Batang bisa segera direalisasikan.

Pemerintah menunjuk PT. Bhimasena Power Indonesia-- konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan :  satu perusahaan nasional, Adaro Power,  dan dua perusahaan Jepang yaitu, J-Power, dan Itochu—sebagai pihak yang akan membangun PLTU Batubara berkapasitas 2000 megawatt di pesisir Ujunggnegoro-Roban,  Kabupaten Batang, Jawa Tengah. PLTU Batubara ini diklaim akan menjadi PLTU yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Kasmir warga Karanggeneng mengatakan, kami akan terus menolak keras rencana pembangunan PLTU Batubara Batang di desa kami. Kami juga mendesak pemerintah Jepang untuk  membatalkan investasi  di PLTU Batang. “Karena investasi mereka  telah merampas tanah kami, menghancurkan mata pencaharian kami, dan akan menyebabkan masa depan anak-cucu kami suram tanpa harapan,” kata Kasmir.

Adapaun lima desa di Batang akan terkena imbas dari proyek ini, antara lain; Desa Karanggeneng, Roban, Ujungnegoro, Wonokerso, dan Ponowareng. Proyek raksasa ini akan melahap lahan seluas 200 hingga 500 hektar, memangsa lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan puluhan ribu pohon melati  hasil budidaya warga , serta sawah tadah hujan seluas 152 hektar, dan yang paling mengejutkan adalah PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang merupakan  kawasan kaya ikan dan terumbu karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.

Penyataan penolakan juga disampaikan M. Ali Tafrihan, warga Karanggeneng, yang sebelumnya sempat di kriminalisasi karena menolak pembangunan PLTU Batang. Rihan mengatakan, belasan ribu nelayan akan kehilangan mata pencahariannya jika pemerintah Jepang bersikeras melanjutkan investasinya di PLTU Batang, investasi Jepang di PLTU Batang ini merupakan investasi pada proyek jahat, karena  sejak awal proyek jahat ini sudah memakan  banyak korban, mulai dari korban pelanggaran HAM, korban penggusuran lahan , dan potensi  menjadi korban  perampasan tanah” Kata M. Ali Tafrihan, Warga Desa Roban.  “Saya adalah korban pelanggaran HAM dari investasi jahat ini, saya di penjara selama hampir 6 bulan karena menolak proyek jahat ini dan dalam pengadilan saya terbukti sama sekali tidak bersalah,” kata M. Ali Tafrihan.

Ridwan Bakar dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, pemerintah Jepang harus membatalkan investasi mereka dalam pembangunan PLTU Batang, karena investasi mereka telah terbukti menimbulkan banyak permasalahan di tengah masyarakat, mulai dari pelanggaran HAM, penggusurah lahan, dan kriminalisasi terhadap warga. “Investasi Jepang untuk  PLTU Batang berpotensi akan memiskinkan warga sekitar,  pemerintah Jepang tidak punya pilihan lain, selain hengkang dari proyek jahat ini,” tegas Ridwan Bakar..

Selain itu, Wahyu Nandang Herawan dari LBH Semarang menambahkan,  jika Pemerintah Indonesia tuli terhadap suara masyarakatnya, dan buta terhadap penderitaan warganya, maka Pemerintah Jepang yang harus lebih bijak dalam mengambil keputusan. “Bersikeras melanjutkan rencana investasi pada  proyek jahat ini berarti menutup mata dan telinga terhadap suara masyarakat yang mempertahankan mata pencaharian dan penghidupan mereka,” kata Wahyu Nandang Herawan, Aktivis LBH Semarang.

Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia juga menambahkan,, Hatta Rajasa sebagai salah satu kandidat presiden di Pemilu 2014, harus mau mendengarkan aspirasi warganya, bersikeras melanjutkan rencana pembangunan PLTU Batang ditengah besarnya penolakan warga berarti tidak peduli terhadap suara rakyat. “Rakyat tentu tidak akan memilih kandidat presiden yang tidak peduli terhadap nasib mereka,” tambah Arif Fiyanto, dari Greenpeace Indonesia.
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar